Mengingat kembali judul skripsi yang pernah saya buat di tahun 2008 tentang Undang -Undang Fidusia yang banyak di perbincangkan di tengah masyarakat banyak utang ini . Yang mau saya koreksi hari ini bukan lagi dalil - dalil hukum sebagaimana semangat sewaktu kuliah hukum dulu saya kira hukum bisa menjawab semua masalah masyarakat dengan bermodalkan semangat. Sampailah pada satu masa tahun 2010 akhir dimana kekuatan spiritual memasuki usia ku ternyata " niat " baik tidak cukup hanya dengan dengan semangat membara saja karena rumit nya memahami niat - niat orang lain yang bekerja sebagai penegak hukum ,jaksa , polisi , hakim , pengacara , Dimasa reformasi politik ini kultur birokrasi penegak hukum yang di pengaruhi kultur penguasa ala orde baru masih melekat sekali dalam membuat kesimpulan hukum yang paling banyak tentunya korupsi yang membuat hukum samar samar antara dalil dalil paksaan dengan keadilan .
Kembali ke Undang - Undang fidusia tentang hak hak eksekusi oleh sipil tanpa melalui perangkat pengadilan yang paling mengusik fikiran saya adalah kultur debitur dan kreditur ada kesamaan kultur mungkin karena berasal dari bangsa yang sama . Oknum -oknum kreditur suka sekali mencari untung dari polosnya debitur begitu juga debitur suka mencari untung dari nakalnya oknum kreditur jadi ingat kasus polantas dengan pelanggar lalulintas sama- sama tidak punya karakter kebangsaan karakter budaya yang terhormat . Hal ini saya kupas karena kasus kultur ini mayoritas yang jadi sumber masalah karena tidak ada kesadaran hukum perdata yang sangat sulit di selesaikan di pengadilan yang mana kultur baik ini sebenarnya sangat5 di perlukan bagi kreditur agar jadi orang terpercaya begitu juga debitur .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar