Selasa, 08 Oktober 2019

Duniaku runtuh

Sejak kecil kami sudah menikmati hidup yang sangat berkecukupan, dibanding tetangga, dan keluarga kami yang lain. Maklum papa seorang pejabat daerah yang gajinya tidak seberapa, tapi " seserannya" banyak kata orang. Yang lebih banyak cemburunya daripada bicara dosa, soalnya kalau papa servis mereka makan - makan, semua tersenyum memuji papa. Bahkan papa belum selesai bicara saja mereka sudah mengangguk aguk kayak burung beo di pasar malam. Terang saja papa makin banyak korupsi untuk memberi makan mulut - mulut munafik ini.Belum lagi masa pemilu tiba, ada saja yang minta uang ke rumah kami. Mulai dari lahirnya organisasi, lahir anak, sampai anak kucing lahir mereka ajukan proposal sama papa, semua di turuti papa.

Aku belum tahu apa - apa waktu itu, yang aku tahu apa yang aku inginkan mudah sekali diberikan. Buku, mainan, baju, tas , sepatu kami adalah yang termahal di antara anak lain. Jadilah kami anak - anak yang sangat manja, mama sibuk kumpul sama teman - temanya sesama ibu - ibu pejabat. Biar jabatan papa langgeng katanya. Bahkan ada angin tidak sedap berhembus, mama dekati bos papa di hotel.

Kami hanya di temani Bi Inah yang selalu menuruti apa mau kami. Soalnya kalau dia banyak bacot akan kami laporkan ke mama, habis dia kena marah. Bahkan ketika Andi kakak saya yang paling tua pulang teler, dia tidak berani melapor ke mama. Karena kalau melapor akan didamprat,

" Kamu tahu apa bi!? Andy bukan anak kampung, dia anak pejabat, boleh dong gaul sama anak - anak pejabat, biar berkelas dong. " Iya bu, kata Bi Inah surut.

Cerita Bi Inah tentang pengalaman saudara yang juga pejabat, kami anggap suara kentut. " Nanti kayak keluarga Om saya, semua jadi kacau, kata Bi Inah pelan.
" Hmmmm! jawab kami ketus.

Papa di rumah hanya sebentar saja, paling juga numpang mandi, ganti baju saja. Tidak lama, " baik pak, baik pak, kata menerima telepon dari atasannya. Kalau sudah begini, kita harus siapkan semua keperluan papa, baju, buku, rokok, parfum dll, jangan sampai ada yang ketinggalan, papa akan marah besar. Rumah seperti anak - anak ayam kucar kacir di kejar elang. Seperti papa dan teman - temanya juga akan kucar kacir kalau atasannya datang. Untung Bi Inah orangnya cekatan. Biasanya papa pulang larut malam, besok pagi sudah pergi kerja.

Sebagai gadis remaja, aku mulai melirik remaja pria yang paling ganteng di sekolah. Boni namanya dia juga anak pengusaha kaya di daerah kami. Mudah sekali kami menjalani hubungan, semudah kami berpisah kemudian karena papa masuk penjara karena korupsi. Dunia serasa runtuh, mama meraung raung kayak babi diterkam harimau. Dia lupa selama ini dia yang mendorong papa korupsi, giliran begini, mama sibuk cari kambing hitam, tidak pernah mau cari kamping putih. Kan kasihan kambing putih korban pilih kasih. Bi Inah tidak berani keluar kamar kalau ada mama. Takut jadi sasaran kemarahan mama.

Malam itu mama mengajakku menemui seorang pejabat yang sangat berkuasa. Om Tohap namanya, matanya tidak henti hentinya menyapu seluruh tubuhku dan tubuh mama.
" Nanti saya hubungi ya bu, kata Om Tohap.
" Iya pak terimakasih sebelumnya kata mama bungkuk - bungkuk seperti Bi Inah kalau dimarahi mama. Hidup memang aneh, di rumah seperti raja, di depan penguasa seperti hamba juga.

" Kita temuin Om Tohap dek kata mama. " Emang Putri harus ikut ma? " Iya dong, masak mama sendiri menemui laki orang? lagian Om Tohap minta kamu ikut juga, kata biar tidak ada fitnah, " Dimana ketemunya ma? " Di hotel XXBahagia dek. " Kok di hotel sih ma? " Sudah jangan banyak tanya, sudah syukur Om Tohap masih mau menemui kita. Ini demi papa kamu. Dengan langkah malas aku ikuti mama ke hotel XXBahagia, saya aku tidak sebahagia hotel ini, sudah putus pacar, papa masuk penjara, ini mau nemui om - om yang bermuka mesum, di hotel lagi. Firasat tidak beres ini. Firasat ini semakin jadi ketika Om Tohap minta di temui di kamarnya, ingat cara dia memandang tubuhku.

Benar saja, di ruangan sudah ada minuman keras, apa mau ajak kami mabok bandot tua ini. 

" Silakan duduk, katanya sambil menyiapkan tiga gelas.
" Saya tidak usah minum om, kataku memohon.

Wajahnya langsung masam, sambil berkata merayu " ayolah hargai tuan rumah, mama juga sepertinya mendukung dia. Jadilah kami minum bertiga, tidak menunggu lama kepala saya sudah puyeng. Hanya dung, dung..saja berdenging di kepalaku, tidak tahu apa lagi yang dibicarakan mama dan Om Tohap. Tengah malam, waktu menunjukkan jam 03.00 pagi, mama membangunkanku dari mabuk, pakaianku dan pakaian mama sudah acak acakan. " Mama! teriakku, mama memeluk dan berbisik," ini semua demi papa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar