" Kolonel, kamu culik mereka, hadapkan ke presiden kalau tidak mau tembak di tempat, mayatnya buang saja, ini perintah rahasia, hanya kamu saya dan presiden yang tahu. " Kamu orang pilihan presiden untuk selalu mengamankan presiden dari semua gangguan. " Apapun nanti yang terjadi kamu tetap diam, ini ujian besar buat kamu, ujian buat kariermu yang bakal cemerlang.
" Siap pak.
" Nama - nama sudah di berikan, saya kira kamu kenal semua, sudah tahu rumahnya, perintahkan mereka menghadap presiden saat itu juga.
" Siap pak.
Kolonel Somad komandan bataliyon pengawal presiden kharismatik yang sangat di cintai rakyatnya, karena berhasil membebaskan rakyatnya dari imperialisme. Perwira pendiam, polos, pemberani, sudah di uji di berbagai medan perang. Dia di percaya atasannya untuk jadi komandan bataliyon pengawal presiden. Sang atasan lama ini memberikan sebuah perintah rahasia, yang sangat menentukan arah sejarah negaranya yang baru berdiri ini.
Penculikan ini di maksudkan untuk menekan para jenderal untuk tunduk kepada presiden kalau tidak akan di copot dari jabatannnya, kalau masih bersikeras melawan presiden akan di tuduh makar dan di penjarakan, paling buruk akan di bunuh. Ini era di mana semua politisi dan jenderal masih dekat dengan bau mesiu. Baru beberapa tahun saja melewatkan masa perang, pembunuhan bukan hal riskan bagi elit negara. Pembunuhan biasa saja dalam menegaskan pendapat. Negara ini baru saja melewati perang antar daerah, perang melawan fihak luar yang mencoba mengeruk kekayaan alam negara ini.
Kolonel Somad yang mendengar bisik - bisik belakangan ini, bahwa presiden tidak akur dengan jenderal - jenderalnya yang sudah lelah berperang. Tiba - tiba saja bapak presiden memprovokasi negara tetangga untuk perang, " baru saja kita bisa makan malam bersama keluarga, ini mau makan di medan perang lagi? kata sejumlah perwira di lorong - lorong istana presiden. " Dia kan tidak ikut perang, dia bisa tidur nyenyak dengan istri - istrinya, istri kita menangis setiap malam, berharap kita cepat pulang. Kolonel Somad tentu tidak ikut perang karena bertugas mengawal presiden, kepolosannya tidak mampu membedakan kepentingan umum prajurit dengan kepentingan dia dan presiden berkuasa. Pokoknya menjalankan perintah terakhir sudah benar bagi prajurit, tidak sempat memikirkan politik kekuasaan.
Atasan lamanya adalah perwira yang sangat dia percayai perintahnya. Maka perintah di jalankan dengan sempurna, para jenderal yang di culik atau dipanggil prajurit bawahannya, sangat risih di bentak oleh bawahannya. Mencoba bernegosiasi, paling tidak berpakaian kebesaranlah. Prajurit yang sudah di doktrin tidak rela objeknya hilang dari hadapan matanya, barang sedetikpun.
" Sekarang jendral!
" Biar saya ganti baju dulu, sahut jenderal kesal.
" Tidak usah jenderal!
" Kamu tahu apa prajurit?!
Dar! dar! dar!....senapan mesin menyalak menerjang tubuh jenderal itu. Tim lain bernasib lebih baik, objek buruannya kooperatif dan mau dibawa berpakaian apa adanya. Ada pula yang sempat berpakaian kebesaran. Klop, lima jenderal utama militer sudah di bawa oleh prajurit pengawal presiden untuk di hadapkan ke presiden. Berkumpul di titik pertemuan, mereka saling menatap, karena buruannya da yang tewas, ada pula yang tidak.
" Sudah bereskan saja semua, biar seragam, prajurit memang selalu di tuntut seragam. Di masa pelatihan militer, tempat sabun mandi, sikat gigi pun harus seragam bentuknya, posisinya. Tidak masalah, toh masih bisa di jadikan alasan kepada sang atasan, jenderal Bento. Kolonel Somad dengan bangga menyiarkan di radio negara bahwa dia berhasil melumpuhkan upaya para jenderal melawan presiden. Para pendengar bingung tapi mencoba maklum saja, karena yang berbicara komandan bataliyon pengawal presiden.
Berita kemudian berkembang cepat, saling curiga, saling analisa, saling fitnah, semua kacau, satu - satunya petinggi militer yang tersisa adalah jenderal Bento. Semua awak media dalam dan luar negeri tertuju padanya, dalam sekejap dia populer di media, dimana sebelumnya dia bukan perwira menonjol. Jenderal yang dilenyapkan jauh lebih populer dari jenderal Bento, mereka prajurit tempur sejati. Sedangkan Bento lebih di kenal sebagai pebisnis ilegal seperti penyelundupan.
Jenderal Bento mantap menyalahkan kelompok politik yang selama ini berbeda pendapat dengan para para jenderal yang tewas. Amarah rakyat berhasil dia pukau dengan pidatonya, " Kita akan bentuk tim untuk mencari tempat pembuangan para jenderal itu, kita akan tumpas habis para pembunuh perwira andalan kita. Tidak lupa dia juga mengajak partai yang selama ini jadi lawan partai sasarannya. Presiden sendiri sudah mulai tua dan sakit sakitan, gamang menentukan sikap. Partai yang di salahkan Bento adalah partai koalisinya. Pengaruhnya di militerpun semakin lemah, karena jenderal yang tewas adalah loyalisnya.
Opini politik berubah dengan cepat kolonel Somad yang beberapa hari yang lalu dianggap pahlawan, tiba - tiba di opinikan sebagai musuh utama militer. Sebuah bataliyon lain di kerahkan untuk menangkap Somad dan anak buahnya. Kolonel Somad yakin akan di selamatkan oleh Bento, paling ini cuma sandiwara saja. Somad sangat yakin dengan bekas atasannya, Bento. Sampai vonis mati tiba untuk Somad, tidak ada upaya apa - apa dari Bento.
Bento sangat sibuk untuk meraih kekuasaan tertinggi negeri itu daripada memikirkan nasib seorang prajurit polos model Somad. Benar saja, Bento akhirnya berhasil menjatuhkan presiden berkuasa dan menjadi presiden.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar