Kamis, 27 Juni 2019

Tanah warisan



" Lae ke kampung kita saja, ada tanah kita yang bisa lae pakai bertani, kata Opung sama Hula Hulanya ( keluarga istri ) yang hidup di kampung yang kurang baik tanahnya. Tanah seluas setengah hektar lebih diberikan secara gratis, sungguh mulia hati Opung ini. Sungguh hormat kepada Hula Hulanya, sebagai mana umumnya orang Batak sangat menghormati Hula Hula.

Konon Sisingamaraja juga pernah di minta tunduk kepada kerjaan Belanda.

" Tidak, saya hanya hormat kepada Hula hula saya! tegas Sisingamangaraja. Orang Belanda tidak tahu apa artinya dan bertanya.

" Itu artinya saya menikahi putri kalian dahulu, baru saya hormat dan tunduk kepada kalian.

" Apa?! kami tidak mau menikahkan putri kami dengan bangsa liar.

Hubungan Opung sama Hula Hulanya berlangsung baik - baik saja sampai Hula Hula itu meninggal. Tanah yang diberikan oleh Opung dilanjutkan oleh anak Hula Hula itu.

Di masa susah cari beras, keluarga Opung mencari sagu dari batang enau yang kebetulan banyak tumbuh di tanah yang di pakai Hula Hula itu. Mungkin tidak biasa tegur sapa atau merasa tanah itu adalah tanah mereka juga. Mereka tebang saja pohon enau itu dengan santai. Nasib kurang mujur, tidak ada sagunya, dilanjutkan ke pohon berikutnya. Sampai beberapa pohoh enau tumbang dan di belah seperti mayat korban bom atom.

" Apa apaan kalian!? suara keras datang dari penunggu tanah.
" Ini kami perlu bahan makanan.
" Kalau perlu makanan? bukan urusan saya, kenapa pohon enau saya yang di babat? kalian ganti rugi pohon ini.

Keluarga Opung yang sudah lelah membelah pohon enau, di tambah sagunya pun sangat minim, kehilangan akal sehat.

" Berani beraninya kamu bicara begitu di depan kami!? kamu tahu ini tanah siapa ?
" Apa katamu? apa matamu buta? ini tanah saya ! teriak Sibodat.

" Kamu itu marga Bodat, kampung kamu dimana? bisa - bisanya kamu mengaku ini tanahmu?!.
" Pokoknya ini tanahku! pemberian bapakku.

Kasus berujung ke pengadilan, para hakim tahu ini tanah marga Sihasil, dengan mudah hakim menyatakan, pemiliknya pasti marga Sihasil. Hukum nasional menghargai hukum adat. Marga mayoritas di sebuah kampung bisa dipastikan pemilik tanah. Entah awalnya seperti apa tanah itu jadi milik mereka? tapi umumnya saksi saksi juga akan mengatakan hal yang sama.

Saking luasnya tanah marga Sihasil, sangat mudah memberikan tanah kepada fihak keluarga yang datang karena perkawinan.

Anak gadis keluarga Sihasil di pinang oleh marga Sijakkiring sebagai Hela, Sijakkiring juga di beri tanah. Tapi karena dia Hela ( mantu laki - laki ) di beri tanah yang di pinggir kampung seperti juga Hela yang lain. Untuk jadi tameng hidup kalau nanti ada serangan dari kampung yang lain. Hela pasti sangat patuh sama Hula Hula dalam hal ini Hula Hula marga Sihasil sedangkan Sihasil hormat kepada marga Sibodat Hula - Hulanya. Hela akan mati duluan di pinggir kampung, sebelum serangan sampai ke jantung kampung di mana Hula - Hulanya berdiam.

Zaman berganti, perkembanagan daerah semakin cepat, tanah yang dipakai Hela di pinggir kampung jadi tempat yang paling tinggi NJOP nya. Lama sekali situasi ini berlangsung tidak ada msalah, semua iklas saja menerima keadaan. Sampai pada generasi ketiga yang semakin kaya dan sombong melihat ketertinggalan marga Sihasil yang tinggal di dalam kampung dan lama berkembang. Muncul kemarahan marga Sihasil melihat kesombongan marga Sijakkiring yang tidak tahu lagi sejarah marga dan adat istiadat mereka.

Konflik berujung ke pangadilan, hakim - hakim tahu siapa pemilik tanah sebenarnya sesuai dengan hukum adat yang berlaku. Pemenangnya tentu marga Sihasil. Kesombongan marga Sijakkiring yang berujung pahit. Jangan lupa asal muasal kita, hargailah adat istiadat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar