" Kabarnya bapak orang terpandang di sini? saya mendengar itu dari orang - orang yang saya temui sepanjang perjalanan saya ke sini, saya jadi penasaran ingin kenal bapak lebih dalam. Sudi kiranya bapak menerima kehadiran saya, saya seorang penulis buku. Bertemu orang seperti bapak suatu kehormatan bagi saya, membuat inspirasi saya untuk menulis,' Abas Kusumah penulis tidak laku. Hari demi hari Abas semakin sering bertemu dengan Ramlan, makan bersama, jalan - jalan menyusuri kenangan tugas Ramlan semasa aktif dulu, Ramlan bangga bercerita tentang kehebatan dia menindas orang lemah. Tiba suatu hari Abas mengajak Ramlan jalan - jalan dan menikmati suasana pinggiran kota. Malam hari pun tiba, orang - orang semakin sedikit lalu lalang. Mobil kijang super yang di kendarai Abas menepi di sebuah pinggiran semak - semak yang sangat sepi." Mau buang air kecil katanya.
" Bapak masih ingat pak Udin yang pernah buka warung di dekat rumah bapak ?,' tanya Abas.
" Oh anak itu, pendatang yang sok kaya, kamu kenal ?,' tanya Ramlan.
" Tidak pak, hanya orang kampung tadi mengingatkan saya untuk membahas pak Udin dengan bapak,' jawab Abas.
" Saya pernah acak - acak warungnya, dia sok sekali,
" Sok sekali pak ? sok seperti apa ?,' tanya Abas.
" Sok kaya dia, tidak ada silaturahmi sama saya, sombong, jual, kue busuk ke anak saya, saya acak - acak warung,' kata Ramlan.
" Dia salam sama bapak, sret, sret..pisau tajam di tangan Abas memotong leher tua Ramlan.
" Dia bapakku ! Anj....ng, sambil menendang tubuh tua tersayat Ramlan ke semak - semak.
Sebenarnya tidak dibunuhpun dia akan menjemout ajal juga nantinya, tapi sifat Abas yang suka memendam dendam tidak bisa dihalangi. Satu - satunya yang bisa menghalangi dia? andai kata Ramlan sudah bertobat dan berubah jadi orang alim, taat beragama, hal baik bisa menghentikan langkah orang baik yang pendendam.
Malam itu juga Abas meluncur cepat ke arah Merak mau menuju Sumatera, plat mobil yang sudah disiapkan dengan cepat dia ganti, pisau dia lemparkan dalam laut ke selat Sunda, dia tenang sekali seperti seorang spionase berpengalaman, padahal itu semua hanya akting yang dia pelajari dari buku - buku spionase.
Abas pria dewasa yang suka menulis, namun sayang tidak laku, adiknya pernah berpesan,' itu pak Ramlan pernah mengacak acak warung bapak, dulu sewaktu kami di masa awal - awal mencoba hidup baru di Bandung. Pak Ramlan seorang oknum aparat negara yang sangat kasar dan sok kuasa apalagi untuk kita pendatang, padahal dia sendiri sebenarnya orang Sumatera juga, hanya karena menikah dengan wanita asli Bandung dia merasa dirinya seorang pribumi. Tapi sebenarnya isu pribumi ini hanya di mulut dia saja. Sebenarnya dia memang sok kuasa saja, di era dimana aparat negara sangat di takuti. Sebagai orang miskin, pendatang pula, sesama anak Sumatera, kami sangat berharap dia jadi pengayom, tapi jauh panggang dari api. Dia malah melakukan yang sebaliknya: menindas orang lemah. Hanya karena anaknya memilih roti yang sudah kadaluwarsa, dia mengamuk sejadi jadinya di warung bapak kita yang sudah meminta maaf dan mau mengganti roti yang lebih baik. Tapi apalah arti kata - kata orang miskin di depan dia. Sejak itu warung kita jadi bulan bulanan dia. Dia minta rokok tidak mau bayar.
Abas mendengar itu hanya bisa mengelus dada, sebagai orang terpelajar dia berusaha untuk tetap dingin memahami masalah. Abas memilih cara - cara spionase yang sering dia baca. Dia dekati pak Ramlan sambil melihat peluang untuk menghancurkannya, karena otaknya yang cukup encer sangat mudah baginya mengarang cerita menarik agar bisa mendekati Ramlan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar